Cerita Berlanjut...
Liza
Aku adalah seorang pelajar yang bisa dibilang cukup
perhatian dengan bidang yang kutempuh ini. Maksudnya, aku sedikit perhatianlah
dengan mata pelajaran yang sedang kupelajari. Orang-orang di sekitarku
menganggapku pandai. Baiklah, mendengar anggapan orang tersebut membuat aku
terkadang merasa menjadi seorang penipu. Perbuatan apa kiranya yang telah aku
lakukan sehingga membuat mereka beranggapan demikian. Aku sama sekali tidak
merasa pandai. Aku merasa ada kesalahan transfer yang telah kulakukan dalam
komunikasiku sehingga pesan yang mereka terima seperti itu.
Baiklah, akan kuceritakan sedikit kekhawatiranku tentang
anggapan mereka. Aku tidak ingin kalau-kalau suatu saat nanti mereka kecewa
karena mendapatkan diriku tidak sesuai dengan anggapan mereka. Apakah aku yang
akan disalahkan nantinya? Kuharap mereka dapat bersifat professional dan tidak
melakukan hal itu. Toh, aku tak pernah dengan sengaja melakukan tindak penipuan
ini. Aku juga tak pernah dimintai persetujuan oleh mereka untuk disebut demikian.
Lalu, apa alasan mereka nantinya menyalahkanku?
Pikiran konyolku timbul lagi. Aku tak bisa menutupi
ketakutan dan kekhawatiranku tentang tuntutan mereka yang kurasa akan sangat
menyeramkan nantinya. Bagaimana tidak, melihat ketidakprofessionalannya dalam
memberiku gelar tersebut tanpa pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal, dan
juga tentang bagaimana ia melakukannya
tanpa persetujuan diriku, membuaku telah mencap mereka sebagai orang-orang yang
amat tergesa-gesa. Aku tidak senang dengan tindakan mereka itu.
Baiklah. Saat ini aku telah memiliki nama. Nama yang
hidup di dalam benak mereka yang mungkin orang-orang dewasa menyebutnya
reputasi. Reputasi tersebut terwujud dalam kata sederhana yang penuh dusta.
Pandai. Mereka kemudian menatapku dengan tatapan bahwa memang benar itulah
namaku. Mereka berbicara padaku dengan cara yang sama, yang menurutku sangat
aneh. Aku merasa didiskriminasi. Aku mendapatkan perlakuan yang berbeda. Ya,
mereka mendiskriminasiku. Mereka bertindak dengan sangat hati-hati, memilih
gerakan dengan hati-hati, berucap dengan penuh kehati-hatian, bahkan
menggerakkan bola matanya dari kanan ke kiripun dilakukan mereka dengan penuh
hati-hati. Apa namanya ini kalau bukan penghinaan? Apa mereka hendak
menyingkirkanku? Aku benci ini.
Lalu, ketika aku berbicara, mereka semua terdiam dan
menyimakku dengan seksama. Lalu menanggapiku dengan lemah lembut. Sebagian dari
mereka kemudian mengajukan pertanyaan yang kuanggap sebagai pertanyaan
basa-basi. Mengapa mereka menanyakan sesuatu yang sangat mudah. Sesuatu yang
kurasa tak pantas untuk dipertanyakan. Ada apa dengan manusia-manusia ini.
Apakah mereka makhluk latah yang penuh kelebaian?
Benar, bagaimana jika suatu saat nanti tidak sesuai dengan ekspekstasi mereka? Apa mereka akan peduli tentang apa-apa saja yang kamu lewati untuk bisa berdiri sampai hari ini?
BalasHapusBenar. Itu benar. Tapi aku ingin sedikit lebih bijak. Kuharap ekspekatasi- ekspektasi itu menjelma menjadi sebuah doa. Doa yang didengarkan tuhan, lalu diwujudkan tanpa pertimbangan-pertimbangan.
Hapus