Masuknya Islam di Ajatappareng



BAB I
PENDAHULUAN
1. 1  Latar Belakang
Dakwah Islamiyah ke Sulawesi berkembang terus sampai ke daerah kerajaan Bugis, Wajo, Sopeng, Sindenreng, dan lain-lain. Suku Bugis yang terkenal berani, jujur dan suka berterus terang, semula sulit menerima agama Islam. Namun berkat kesungguhan dan keuletan para mubaligh, secara berangsur-angsur mereka menjadi penganut Islam yang setia.
Pelaut-pelaut Bugis berlayar menjelajah seluruh Indonesia sampai ke Aceh. Di antara mereka adalah pembesar Bugis bernama Daeng mansur yang di Aceh lebih dikenal dengan panggilan Tengku di Bugis. Salah seorang puterinya bernama Puteri Sendi. Ia dikawinkan dengan Sultan Iskandar Muda, raja besar Aceh. Sejak itu hubungan antara Aceh – Bugis sangat erat, sehingga banyak pengaruh budaya Aceh di Bugis. Tampaknya hubungan perdagangan yang diperkuat dengan hubungan kekerabatan yang berdasarkan agama Islam itu telah memperkokoh hubungan persatuan antara penduduk di seluruh wilayah Indonesia.
            Proses Islamisasi di Ajatappareng jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan kerajaan Tellu’ Poncoe (Bone, Soppeng, dan Wajo) meskipun kerajaan tetangga pada saat itu, Luwu, Pattimang dapat menerima ajaran Islam dengan jalur dakwah yang dibawakan oleh Datuk Ri Pattimang atau Kathib Bungsu atau yang lebih dikenal dengan Datuk Sulaeman yang datang dengan tujuan dakwah dari Minangkabau, Sumatera Barat.
            Kedatangan Datuk Sulaiman bersama dengan Ratuk ri Tiro dan Datuk ri Bandang menjadi asal mula penyebaran Islam di Ajatappareng. Ketiga Datuk ini, Dato Tallua memiliki misi yang sama, namun perbedaan fokus ajaran menjadikan mereka memilih untuk melakukan dakwah dengan menempuh jalan masing-masing.Datuk ri Bandang ini merupakan salah satu murid dari Sunan Giri, Wali Songo yang sempat berguru di pulau Jawa Timur.
            Di dalam makalah ini, akan dipaparkan bagaimana Islamisasi di Kota Barru, Parepare, Pinrang, Enrekang, dan Sidenreng Rappang (Ajatappareng) yang selama ini tidak begitu banyak diketahui.
1. 2  Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimanakah proses masuknya Islam ke Ajatappareng?
1.2.2        Bagaimankah Peran Kerajaan Gowa dalam penyebaran Islam di Ajatappareng?
1.2.3        Bagaimanakah kerajaan-kerajaan di Ajatappareng?
1. 3  Tujuan
1.3.1        Untuk mengetahui proses masuknya Islam di kawasan Ajatappareng
1.3.2        Untuk mengetahui peran kerajaan Gowa dalam penyebaran Islam di Ajatappareng
1.3.3        Untuk mengetahui kerajaan-kerajaan apa saja di Ajatappareng






BAB II
PEMBAHASAN
2.1              Masuknya Islam di Kawasan Ajatappareng
            Setelah berhasil melakukan Islamisasi di Kerajaan Luwu dengan dialog kritis tentang Ketuhanan dan dengan dianjutkan dengan adu ketangkasan dalam Ilmu mistis, akhirnya, Raja Luwu bersedia menerima Islam yang kemudian dengan serta merta merta diikuti oleh rakyat Luwu. Salah satu alasan mengapa Islam begitu musah diterima di Ajatappareng adalah karena strategi dakwah yang baik oleh ketiga Datuk (Datuk Tallua’) yang mampu menyampaikan agama Islam sebagai agama yang sejalan dengan adat,  kebiasaan, kepercayaan dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat Ajatappareng ini.
            Praktek-praktek keagamaan yang telah diajarkan oleh Datuk Tallua’dapat dipergunakan dengan nyata dan dalam masyarakat meskipun sepeninggalan ketiga Datuk ini dalam hal menyebarkan ajaran Islam ke  penjuru Sulawesi Selatan karena ajaran yang disampaikannya, bagi masyarakat setempat tetap sejalan dengan adat kebiasaan leluhur yang pertama kali  mereka kenal.[1]
            Dalam perjalanan pulang setelah Islamisasi di Luwu, Datuk ri Tiro dan Datuk ri Bandang berdiskusi tentang strategi dakwah yang akan mereka gunakan, guna meyebarluaskan ajaran Islam di Sulawesi Selatan dengan mengajak raja Gowa memeluk Islam terlebih dahulu. Raja Gowa, menurut Raja Luwu adalah raja yang memiliki kekuatan yang besar dalam hal penyebaran agama. Olehnya itu, Raja Luwu yang awalnya dimintai oleh Datuk Sulaiman untuk membantu penyebaran Islam ke kerajaan tetangga mengatakan ketidaksanggupannya karena merasa tidak memiliki kekuatan serupa dengan kerajaan Gowa.
            Maka berangkatlah Datuk ri Tiro dan Datuk ri Bandang ini ke Gowa. Di perjalanan, karena mereka akhirnya menemukan perbedaan pendapat tentang aspek Islam yang akan menjadi priorotas pengajaran, akhirnya mereka memutuskan untuk berdakwah di daerah yang berbeda. Datuk ri Tiro memilih untuk tetap tinggal di Negeri Tiro, sedangkan Datuk ri Bandanglah yang kemudian melanjutkan pelyarannya ke Gowa.
2.2              Kerajaan-kerajaan di Kawasan Ajatappareng
            Ajatappareng adalah salah satu  kampung di Suppa. Kerajaan-kerajaan yang tergabung antara lain kerajaan Suppa, kerajaan Sidenreng, kerajaan Rappang, kerajaan Sawitto, kerajaan Alitta. Kerajaan-kerajaan ini menjadi rebutan bagi kerajaan-kerajaan besar yakni kerajaan Luwu, kerajaan Bone dan kerajaan Gowa. Dalam persaingan ini kerajaan Gowa akhirnya berhasil menjadikan persekutuan lima Ajatappareng di bawah perlindungannya.[2]
            Sedangkan kawasan Ajatappareng yang saat ini kita kenal merupakan aliansi dari lima kerajaan yaitu kerajaan Barru, Parepare, Sawitto (Pinrang), Enrekang, dan Sidenreng Rappang. Aliansi ini sesungguhnya dibentuk oleh pemerintahan Belanda yang pada saat itu diberi istilah Onder Afdeling yang berpusat di Parepare.[3]

2.2.1        Barru
            Menurut cerita-cerita orang dahulu, nama Barru sebelum terbentuknya kerajaan terjadi akibat perkawinan turunan bangsawan Luwu dengan Gowa diatas bukit Ajarenge dimana disitu banyak pepohonan kayu yang disebut Aju Beru. Kemudian nama Aju Beru itulah yang hingga kini dikenal dengan nama Barru.
Sebelum adanya kerajaan di Barru, menurut Lontara silsilah Raja-raja Barru pada mulanya Barru dirintis oleh Puang Ribulu Puang Ricampa hingga datangnya seorang keturunan ManurungE Ri Jangang-Jangngan menjadi Raja pertama (I) di Barru yang kemudian setelah wafatnya digantikan oleh anaknya yang bernama MatinroE Ri Kajuara. Adapun batas-batas kerajaan Barru pada masa itu adalah: sebelah Selatan yang berbatasan dengan kerajaan Tanete, sebelah Timur berbatasan dengan Soppeng, sebelah Utara berbatasan dengan Soppeng Riaja, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan lautan Selat Makassar.
             Pada masa pemerintahan Raja Matinroe Ri Laleng Beru (XI), datanglah seorang Karaeng dari Gowa untuk menyerang Tanete dan dimenangkan oleh Karaenge dari Gowa. Pada waktu itulah raja Barru bermaksud berangkat ke Pancana untuk menerima ajaran agama Islam. Belum tercapai niatnya tersebut beliau sudah wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Matinroe Ri Duajenna (XII). Raja inilah yang pertama membawa masuk agama Islam di Barru. Karena beliau tidak memiliki anak maka setelah wafatnya beliau digantikan oleh kemenakannya To Riwetta Ri Bampa. Beliau pernah berperang dengan kerajaan Bone yang waktu itu dibawah kekuasaan Petta Malampe Gemmegna. Beliau wafat dalam medan perang dan kemudian digantikan oleh saudaranya (XIV). Raja inilah yang kemudian bersahabat dengan Bone dan setelah wafatnya beliau digantikan oleh sepupunya seorang perempuan yaitu Matinroe Ri Gamaccana (XV). Raja inilah perempuan pertama yang menjabat sebagai raja di Barru dan kemudian menikah dengan anak raja Gowa. Beliau jugalah yang menyatukan kembali Barru Timur dan Barru Barat dengan pusat kerajaan di Barru Barat. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh anaknya yang bernama I Lipa Daeng Manako yang setelah wafatnya bergelar MatinroE Ri Madello (XVI). Raja inilah yang kemudian membawa sebagian rakyat dari pihak Bapaknya yaitu Bajeng ke Padangke dan membuka perkampungan disana. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh I Malewai MatinroE RI MaridiE (XVII). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh I Rakiyah Karaeng Agangjene (XVIII). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh anaknya yang bernama To Appo MatinroE Ri SumpangbinangaE (XIX). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh To Apasewa MatinroE Ri Amalana (XX). Beliau menikah dengan I Halija Arung Pao-Pao. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh puteranya yang bernama To Patarai MatinroE Ri Masigina (XXI). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh puterinya yang bernama We Tenripada (XXII) dan kawin dengan anak raja Gowa Patimatarang. Raja inilah yang juga pertama kali membangun mesjid di Mangempang. Beliau kebanyakan berdomisili di Gowa dan sehingga wafatnyapun di Gowa. Setelah wafatnya pangulu adat kerajaan menyerahkan kerajaan Barru kepada suaminya yang bernama Patimatarang namun hanya berjalan selama setahun saja. Kemudian beliau menyerahkan kerajaan Barru kepada puterinya yaitu Batari Toja (XXIII) pada tahun 1895. Pada masa pemerintahan beliau terjadi perang antara Tanete dan Lipukasi yang berakhir dengan direbutnya Lipukasi oleh raja Tanete (Pancaitana).   Setelah itu batas kerajaan Barru berubah menjadi:
Sebelah Utara sampai sungai Madello hingga ke Selatan sampai ke sungai Lajari, Dari pesisir pantai Selat Makassar sampai ke Timur kerajaan Soppeng.
Karena Batari Toja dalam pemerintahannya kebanyakan berada di Gowa sehingga untuk melaksanakan pemerintahan diberi kepercayakan kepada:
Andi Mattanio Arung Tuwung (Ayahanda Andi Djuanna Dg Maliungan) melaksanakan pemerintahan disebelah Selatan sungai (Taitang Salo), Daeng Magading melaksanakan pemerintahan di sebelah Utara sungai (Manerang Salo).
            Pada tahun 1908 Batari Toja digantikan oleh puteranya yang bernama Kalimullah Karaeng Lembang Parang atau dikenal dengan nama Kalimullah Djonjo Karaeng Lembang Parang. Pada masa itu yang menjabat sebagai Sulewatang (Pengganti kekuatan raja) adalah Andi Djuanna Daeng Maliungan.
            Kerajaan Barru Menjadi Swapraja pada masa Kalimullah Djonjo Karaeng Lembang Parang yaitu di tahun 1908 kerajaan Barru menjadi Onder Afdelling dan dibawah pengawasa Controlleur Belanda hingga tahun 1942. Kemudian Jepang datang tahun 1942 dan melanjutkan pemerintahannya hingga tahun 1945. Setelah Jepang berakhir kembali kerajaan Barru dibawah penguasaan Controlleur Steller yang berkuasa di Barru sampai tahun 1946. Pada tanggal 9 September 1945 Andi Sadapoto yaitu putera Karaeng Lembang Parang diangkat menjadi raja untuk menggantikan Ayahnya. Pada tahun 1947 Andi Sadapoto digantikan oleh Andi Sahribanong dan dalam tahun 1948 inilah kerajaan Barru berubah menjadi Swapraja dengan kepala pemerintahannya yang baru bernama K.P.N. Abdul Latief Daeng Masiki kemudian diganti oleh Patotoreng dan sebagai kepala swapraja Andi Sahribanong kemudian diganti oleh Andi Sumangerukka.
2.2.2        Kerajaan Sidenreng
Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang adalah kerajaan kembar yang diperintah oleh 2 orang Raja, kakak beradik, oleh karena tidak ada batas yang tegas yang memisahkan kedua wilayah kerajaan tersebut. Lontaraq hanya menggambarkan bahwa penduduk Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang hanya dapat dibedakan pada waktu panen. Yang menyangkut padinya ke utara, itulah rakyat Kerajaan Rappang, sedangkan yang menyangkut padinya ke selatan itulah rakyat Kerajaan Sidenreng. Selain itu, kedua rajanya juga membuat ikrar, yaitu Mate Elei Rappang, Mate Arawengngi Sidenreng. Mate Arawengngi Rappang, Mate Elei Sidenreng. Yang berarti Mati Pagi Rappang, mati sore Sidenreng. Mati sore Rappang, Mati Pagi Sidenreng.
Di abad XIV kerajaan Sidenreng merupakan kerajaan Bugis yang cukup disegani di Sulawesi Selatan, disamping Kerajaan Luwu, Bone, Gowa, Soppeng, dan  Wajo. Berbagai literatur yang ada menyebutkan eksitensi kerajaan ini turut memberi warna dalam percaturan politik dan ekonomi kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Sidenreng merupakan salah satu Kerajaan yang ramai dan terkenal hingga ke benua lain, yang berpusat di sekitar danau besar (Tappareng Karaja) yang dapat dilayari dan dikelilingi tempat-tempat pemukiman. Manuel Pinto, seorang berkebangsaan Portugis malah sempat menetap selama delapan bulan menetap di Kerajaan Sidenreng. Pinto menggambarkan Sidenreng sebagai sebuah negeri yang ramai.
Ada versi yang menyakini bahwa asal usul raja berasal dari langit yang dikirim ke bumi oleh Dewata Seuwae, karena itu disebut Manurungnge. Menurut versi ini , Addowang Sidenrengpertama adalah Manurungnge ri Bulu Lowa. Setelah mangkat ia digantikan oleh anaknya Sukkung Mpulaweng yang kemudian kawin dengan Pawawoi Arung Bacukiki, putri labanggenge, Manurungnge ri Bacukiki dari perkawinannya dengan Arung Rappang, We Tipu Linge. We Tipu juga diyakini seorang yang muncul di Lawarampang.  Ada versi yang mengatakan bahwa Kerajaan Sidenreng berasal dari Tomanurung, seperti halnya mitos raja-raja yang memerintah di berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan. Dalam versi lain, asal mula Sidenreng berasal dari sebuah kelompok dari Sangalla, Tana Toraja, yang meninggalkan daerahnya akibat kezaliman Rajanya, La Maddaremmeng, yang tidak lain adalah saudara dari mereka sendiri. Rombongan tersebut dipimpin oleh 8 bersaudara yang terdiri dari; La Wewangriu, La Togelipu, La Pasampoi, La Pakolongi, La Pababbari, La Panaungi, La Mappasessu dan La Mappatunru. Menilik dari nama-nama mereka tersebut yang tidak bercirikan nama Toraja, maka diduga mereka itu bukanlah penduduk asli Sangalla (Toraja), melainkan mungkin berasal dari Kerajaan Luwu. Hal ini diperkuat oleh sebuah sumber yang mengatakan bahwa Sangalla pada zaman dahulu pernah berada dibawah Payung Kerajaan Luwu. Pemberian nama Sidenreng adalah untuk memperingati awal mula kedatangan mereka ditempat itu pada saat berbimbingan tangan mendatangi danau untuk mandi dan mengambil air. Tempat itu sekarang disebut Kampung Sidenreng. Namun daerah batu itu disebut sebagai Tanae Aja Tappareng oleh orang Wajo, Soppeng dan Bone. Dimana Tanae Aja Tappareng berarti daerah yang berada di sebelah barat danau, yang sekarang dikenal dengan nama Danau Sidenreng. Kemudian di daerah Aja Tappareng ini terbentuk 5 kerajaan, yaitu Sidenreng, Rappang, Sawitto, Suppa dan Alitta. Kerajaan-kerajaan ini yang sesungguhnya disebut Lima Aja Tappareng.
2.2.3             Kerajaan Sawitto
            Wilayah Pinrang sebelum abad ke-20 adalah sebuah wilayah kerajaan bernama Kerajaan Sawitto. Kerajaan ini membawahi kerajaan-kerajaan kecil, seperti kerajaan Batulappa, Kassa, Suppa, Alitta, Sidenreng, Rappang. Kerajaan-kerajaan ini, merupakan sebuah satu kesatuan kerajaan yang disebut "Lima Ajattappareng". Lima Ajattappareng, merupakan sebuah persekutan perjanjian yang disepakati oleh 5 raja dalam suatu pertemuan yang berlangsung di Suppa pada abad ke-15, meliputi kerajaan Sawitto, Suppa, Sidenreng, Rapang, dan Alitta.  Kemudian ikut bergabung kerajaan Batu Lappa dan kerajaan Kassa yang merupakan kelompok persekutuan Massenreng Pulu. Kerajaan Sawitto mencapai kemasyhurannya pada abad ke-15, ketika Kerajaan Sawitto dipimpin oleh La Paleteang, raja ke-14 Sawitto.Wilayah Kerajaan Sawitto pada masa pemerintahan La Paleteang merupakan sebuah wilayah yang subur dan makmur. Wilayah ini memiliki hamparan tanah datar dengan bentangan pesisir laut yang seakan tak bertepi. Namun kemasyuran Kerajaan Sawitto itu, membuat Raja Gowa cemburu dan berniat menguasai Wilayah Kerajaan Sawitto. Kerajaan Sawitto merupakan yang kondisi dan potensinya menjanjikan setumpuk harapan itulah sebabnya terjadi peperangan antara kerajaan Sawitto dan kerajaan Gowa, sebagai kerajaan yang besar kerajaan Gowa berusaha menguasai kerajaan Sawitto.Berbagai upaya yang telah digunakan Gowa untuk menguasai Sawitto melalui agresi dan terjadilah perang antara Sawitto dan kerajaan Gowa. Prajurit-prajurit Sawitto dengan gigih mengadakan perlawanan abdi kerajaan mati-matian mempertahankan dan membela bumi Tahun 1540 terjadilah penyerbuan besar-besaran yang dilakukan balatentara kerajaan Gowa. Perang pun tak terhindarkan lagi, bala tentara kerajaan Gowa dengan jumlah pasukan yang sangat besar menyerbu pasukan Kerajaan Sawitto. Kerajaan Sawitto menolak tawaran Raja Gowa yang pada saat itu merupakan sebuah kerajaan besar dan kuat, agar Raja La Paleteang mau tunduk. Namun Raja La Paleteang menolak wilayah kerajaan Sawitto sebagai bagian dari kerajaan Gowa.
Peperangan ini menimbulkan korban jiwa kedua belah Pihak. Pasukan kerajaan Sawitto dengan jumlah tentara kerajaan yang sedikit jumlahnya dibandingkan pasukan kerajaan Gowa. Bertembur habis-habisan, Akhirnya, dengan kekuatan personil yang sedikit itu, Pasukan kerajaan Sawitto kalah, dan pasukan kerajaan Gowa berhasil membawa La Paleteang dan istrinya ke Kerajaan Gowa sebagai tawanan. Tertawannya Raja Sawitto, La Paleteang tidak berarti wilayah kerajaan Sawitto diambil alih kerajaan Gowa. Namun akhirnya, raja La Paleteang dan istrinya berhasil dibawa kembali ke tanah Sawitto. Setelah memasuki abad ke-20, ketika Belanda mulai mencampuri urusan rumah tangga kerajaan, maka kerajaan Sawitto telah menjadi pusat pertahanan beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan, seperti Bone, Gowa, Wajo dan Soppeng.
            Sekitar tahun 1856, keluarga raja dan pembesar kerajaan Sawitto, diliputi suasana bahagia atas lahirnya putra La Tamma yaitu La Sinrang. Kemudian dikenal dengan nama Petta Lolo La Sinrang. Putra La Tamma Addatuang Sawitto ini, dilahirkan di Dolangeng sebuah kota kecil yang terletak kira-kira 17 km sebelah selatan kota Pinrang. Karena ibunya bernama I Raima (Keturunan rakyat biasa) berasal dari Dolangeng. Sejak lahirnya La Sinrang memang memiliki keistimewaan dimana dadanya ditumbuhi buluh dengan arah berlawanan yaitu arah keatas ke atas (bulu sussang).
            Dalam perjalanan hidupnya, La Sinrang banyak mendapat bimbingan dan pendidikan daripamannya (saudara I Raima), yaitu orang yang mempunyai pengaruh dan disegani serta dikenal sebagai ahli piker kerajaan. Sehingga, La Sinrang menjadi seorang pemuda yang cukup berwibawa dan jujur. Hal ini merupakan suatu cirri bahwa putra Addatuang sawitto ini, adalah seorang calon pemimpin yang baik.
            Diwaktu kecil La Sinrang gemar permaianan rakyat seperti dalam bahasa bugis mallogo, maggasing, massaung dan lain-lain. Namun, kegemaran utamanya yang berlanjut sampai usia menanjak dewasa yaitu “ Massaung “. Menyabung ayam. Dari kegemaran ini, La Sinrang selalu menggunakan “ Manu “ bakka “ (ayam yang bulunya berwarna putih berbintik-bintik merah padabagian dada melingkar kebelakang), ayam jenis ini jarang dimiliki orang.
            Kegemaran menyabung ayam dengan “ manu bakka “ tersiar keluar daerah, sehingga La Sinrang dikenal dengan julukan “ Bakka Lolona Sawitto “ juga dapat diartikan “ Pemuda berani dari Sawitto . Julukan ini semakin popular disaat La Sinrang mengadakan perlawanan terhadap belanda. Juga kegemaran La Sinrang di usia remaja/dewasa adalah permainan “Pajjoge” yaitu tari-tarian dari asal Bone, sehingga ketika Pajjoge dari Pammana (Wajo) mengadakan pertunjukan di Sawitto maka La Sinrang semakin tertarik dengan Permian tersebut.
            La sinrang ke Pammana, dimana setelah tinggal di Pammana dia memperlihatkan gerak-gerik yang menarik perhatian orang banyak, utamanya Datu Pammana sendiri. Datu Pammana La Gabambong ( La Tanrisampe) juga merangkap Pilla Wajo tertarik untuk menanyakan asal-usul keturunannya. La Sinrang pun dididik dan diterima Datu Pammana menjadi pemberani, terutama dalam hal menghadapi peperangan. Setelah itu, La Sinrang kembali ke daerah asalnya yaitu Sawitto, saat itu La Sinrang mempunyai dua orang putra yakni La Koro dan La Mappanganro darihasil perkawinan dengan Indo Jamarro dan Indo Intang.
            Tiba di Sawitto diajaknya kerajaan Suppa, Alitta, binanga Karaeng, Ruba’E, Madallo, Cempa, JampuE, dll kerajaan kecil disekitar Sawitto untuk berperang, dan apabila kerajaan tersebut tidak bersedia, berarti bahwa kerajaan itu berada dibawah kekuasaan Sawitto. Dengan demikian, dalam waktu singkat terkenallah La Sinrang keseluruh pelosok, baik keberanian, kewibaan, maupun kepemimpinannya.
            La Sinrang selama berada di Sawitto semakin nakal, akhirnya diasingkan ke Bone, baru setahun di Bone, terpaksa menyingkir ke Wajo karena membunuh salah seorang pegawai istana di Bone yaitu Pakkalawing Epu’na Arungpone. Selama di Wajo ia mendapat didikan dari La Jalanti Putra Arung Matawo Wajo yaitu La Koro Arung Padali yang bergelar Batara Wajo. La Janlanti diangkat menjadi komandan Pasukan Wajo di Tempe dengan pangkat Jenderal. Setelah serangan Belanda terhadap kerajaan sawitto semakin hebat, maka La Sinrang dipanggil pulang oleh ayahnya, dan diangkat menjadi panglima perang. Dalam kepemimpinannya sebagai panglima perang kerjaan Sawitto, senjata yang dipergunakan adalah tombak dan keris. Tombak bentuknya besar menyerupai dayung diberi nama “ La Salaga ‘ sedang kerisnya diberi nama “ JalloE”.
2.2.4             Kerajaan Rappang
Kerajaan Rappang disebutkan sebagai kerajaan yang menguasai daerah hilir sungai Saddang di abad 15 M. Bersama dengan Sidenreng, Sawitto, Alitta, Suppa, dan Bacukiki, Mereka membentuk persekutuan Ajatappareng untuk membendung dominasi Luwu. Persekutuan ini kemudian diikatkan dalam perkawinan antar keluargaraja-rajamereka. Adapun Rappang berasal dari kata Rappeng, dalam bahasa Bugis, Rappeng berarti dahan/ranting yang hanyut. Dimana pada zaman dahulu, sungai yang mengalir di Rappang mempunyai lebar yang besar dan pada bagian hulunya banyak terdapat hutan belukar yang lebat. Dan apabila musim hujan telah tiba, maka dahan dari pohon-pohon itu hanyut dan membentuk daratan, menjadi tempat pemukiman dan kemudian diberi nama Rappang.
Susunan Nama – nama Raja Kerajaan Rappang :
1. We Tipu Uleng, Arung Rappang I, saudara kandung La Mallibureng
(Addaowang Sidenreng II).
2. We Pawowoi, Arung Rappang II, putri We Tipulinge (Addaowang IV Sidenreng)
3. La Makkarawi, Arung Rappang III, anak La Pute Bulu Datu Suppa
4. Songkokpulawengnge, Arung Rappang IV, anak Manurungnge ri Lowa
(Addaowang II  Sidenreng)
5. We Cinang, Arung Rappang V
6. La Pasampoi, Arung Rappang VI, putra La Batara (Addaowang VI Sidenreng)
7. Pancaitana, Arung Rappang VII, anak dari Lampe Welua Datu Suppa VI
8. La Pakolongi, Arung Rappang VIII, anak dari Pancaitana.
Raja inilah yang pertama memeluk Islam, Tahun 1607/1608 M
9. We Dangkau, Arung Rappeng IX, putra dari La Pakolongi
10. Tonee, Arung Rappeng X
11. We Tasi, Arung Rappeng XI, putra dari Tonee
12. Todani, Arung Rappeng XII, anak dari we Tasi dengan La Bila Datu Citta
13. La Tenri Tatta, Arung Rappeng XIII, menantu Todani
14. La Toware, Arung Rappeng XIV, anak dari La Tenri Tatta
15. We Tenri Paonang, Arung Rappeng XV, anak dari La Cella Datu Bongngo Arung Rappeng dengan I Sompa Arung Rappeng I
16. La Pabittei, Arung Rappeng XVI, anak dari I Tenri Paonang
dengan La Kasi Ponggawae ri Bone
17. I Madditana, Arung Rappeng XVII, putri dari La Pabittei.
18. I Bangki, Arung Rappeng XVIII, putri dari I Madditana dengan La Makkulawu Arung Gilireng.
19. La Panguriseng, Arung Rappeng XIX, anak dari Muhammad Arsyad Petta Cambangnge, Arung Malolo Sidenreng 20. La Sadapotto, Arung Rappeng XX merangkap Addatuang Sidenreng XII.Raja inilah yang menandatangani Korteverklaring (pernyataan pendek) dengan Belanda setelah mengalami kekalahan perang pada Tahun 1906 M
21. I Tenri Fatimah, Arung Rappeng XXI, merangkap Addatuang Sawitto,
sebagai Arung Rappeng terakhir, anak dari La Sadapotto. Dalam prosesi pengangkatan dan pemberhentian Arung Rappeng, terdapat sebuah lembaga adat yang bernama Pampawa Ade (pemangku adat) yang berfungsi memilih dan mengangkat Arung Rappeng. Dimana Pampawa Ade (pemangku adat) menggunakan sistem perwakilan calon dan diutamakan berasal dari keturunan Arung Rappeng. Namun jika tidak ada atau tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan adat, yaitu;
 1. Melempui Namatette, yaitu jujur dan tidak plin-plan
2. Makurangngi Cai-na, yaitu tidak pemarah atau lalim
3. Magettengngi ri ada-adanna, yaitu tegas dalam mengambil keputusan
4. Makurang Pauwi ri Ada-ada Temmaggunae, yaitu tidak senang mengumbar
kata-kata yang kurang bermanfaat atau hati-hati dalam ucapan
5. Waranipi Linuri Ada-adanna, yaitu berani dan konsekuen dalam tindakan dan ucapan.
            Maka Pampawa Ade (pemangku adat) boleh mencari calon lain diluar Rappang atau Sidenreng. Dengan demikian Arung Rappeng tidak harus berasal dari keturunannya. Dalam lontaraq ditegaskan bahwa Imana Mua Tenri Appamanareng, yang maksudnya jabatan raja bisa diwarisi, tetapi tidak diwariskan. Adapun sistem pemerintahan Kerajaan Rappang adalah sebagai berikut: :
1. Arung Rappeng, sebagai pimpinan tertinggi yang melaksanakan pemerintahan kerajaan berdasarkan mandat dari rakyat. Dalam lontaraq ditulis
Assamaiyako Muabbulo Sipeppa Mupaenrekengnga Inanre Manasu, yang artinya : Bermusyawarahlah dan bermufakatlah, kemudian apa yang engkau
(pemangku adat & rakyat) putuskan itulah yang saya (raja) jalankan.
2. Sulewatang, yang secara harfiah berarti Pengganti Diri, tugasnya melaksanakan
pemerintahan sehari-hari dan bertanggung jawab kepada Arung Rappeng
3. Pabbicara, sebagai lembaga yang membantu raja dalam mengambil keputusan, terutama jika timbul masalah-masalah, baik menyangkut pemerintahan maupun kemasyarakatan. Pabbicara juga menjadi koordinator Pampawa Ade (pemangku adat)
4. Kerajaan-kerajaan lokal, disamping sebagai kepala wilayah, juga mewakili daerahnya sebagai Pampawa Ade (pemangku adat).
            Ada 4 (empat) kerajaan lokal atau Pampawa Ade, yaitu :
a.Arung Lelebata
b.Arung
Benteng
c.Arung
Passeno
d. Arung Kulo
            Kerajaan-kerajaan ini mempunyai otonomi, dalam lontaraq disebut Napoade-adena, Tenri Cellengi Bicaranna, yang berarti adatnya yang berlaku dan tidak diintervensi keputusannya. Setelah masuknya Pemerintah Kolonial Belanda pada Tahun 1905 di Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang, maka pengangkatan pejabat-pejabat penting harus direstui oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dengan kondisi ini, maka berangsur pula kekuasaan kerajaan dan diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda.
2.2.5             Kerajaan Suppa dan Kerajaan Alitta
Dari tulisan C. Pelras dijelaskan bahwa sejumlah penguasa kerajaan di Sulawesi_Selatan pada abad ke XVI, pernah dibaptis masuk agama Katholik. Diantaranya Kerajaan Suppa, Alitta, Siang (Pangkajenne) , Bacukiki, Tallo, Gowa. Penyebaran agama Katholik di Sulawesi-Selatan ketika itu bersamaan dengan kedatangan bangsa-bangsa asing, terutama Portugis. Jalur kedatangan bangsa Portugis pertama kali dari Malaka menuju ke daerah Ajatappareng dan Suppa, dari Ajatappareng ke Siang ( Pangkajenne) . Yang agak aneh, peyebaran agama ini ke Gowa, melalui jalur lain, yakni dari Ternate pada tahun yang lebih awal ( 1539), sementara ke Ajattapareng, Suppa dan siang, barulah l534, beberapa tahun kemudian. Menurut Pelras, usaha kristenisasi raja-raja ini dimulai dengan kedatangan seorang pedagang Portugis yang Antonio de Paiva yang tertarik pada kekayaan daerah Indonesia Timur, khususnya kayu cendana. Mula-mula Antonio datang ke Siang dalam perjalanan ke daerah Sulawesi Tengah, kemudian singgah di Suppa. Pada kesempatan itulah Antonio membaptis penguasa di Suppa dan Siang ( ternyata kedua penguasa kerajaan itu bersahbat) . Itupun tidak dengan mudah, karena menurut C.Pelras, didahului perdebatan teologis yang hangat. Tidak disebut siapa penguasa Suppa yang dibaptis, kronik mengenai hal ini hanya dibaca dalam laporan Antonio de Paiva yang meminta maaf kepada Uskup Goa ( India ), karena ia telah membaptis dua penguasa tanpa penugasan resmi. Di kisahkan, ketika Antonio de Paiva kembali ke Malaka, ikut serta utusan dari kedua penguasa ke Malaka untuk meminta Gubernur Malaka mengirimkan pendeta ke Suppa dan Siang dan jika mungkin bantuan militer. Bahkan ikut pula serta dua putra penguasa dari Suppa. Kedua pemuda itu, kemudian dibawah ke Eropa. Beberapa waktu setelah peristiwa tersebut, mendengar permintaan kedua penguasa di Sulawesi-Selatan itu, misionaris Khatolik yang terkenal Francisco Xavier berangkat ke Malaka dan dari sana ia akan melanjutkan perjalanan ke Suppa. Kedatangan missionaries ini kemudian batal, karena di terjadi perang antara Wajo dan Sidenreng . Sidenreng bersekutu dengan Suppa dan Siang, Francisco Xavier mungkin tidak mau mengambil resiko terjebak dalam kancah peperangan antarpara penguasa tersebut. Mendahului kedatangan Fansisco Xavier, sudah datang pendeta Vicente Viegas dari Malaka, dialah yang membaptis penguasa Alitta dan Bacukiki. Pertalian agama antarpenguasa Suppa,Siang, Alitta dan Bacukiki dengan Portugis akan berlanjut, jika tidak terjadi peristiwa seorang perwira Portugis membawa lari seorang putri penguasa Suppa. Penguasa Suppa murka, supaya tidak terjadi pertumpahan darah, orang-orang Portugis buru-buru meninggalkan Suppa dan membawa putri penguasa Suppa tersebut ke kapal. Anak blasteran putri penguasa Suppa dengan perwira Portugis itu kemudian lahir dan bernama Manuel Godinho de`Eredia, ibunya juga diberi nama Donna Ele’na Vesiva ( konon keturunan Raja Suppa dan Raja Bacukiki). Manuel Godinho menjadi seorang pintar, ia menjadi penulis dan akhli geografi. Dialah yang pertama kali menyebut adanya pulau di sebelah selatan Timor yang kemudian dikenal sebagai Australia . Hanya seorang anggota ekspedisi Portugis bernama Manuel Pinto yang tidak ikut . Tetapi dia meninggalkan Suppa menuju Siang, Tallo, Sidenreng. Pinto inilah yang menulis laporan ke Uskup Goa ( India ) bahwa raja-raja tersebut sebenarnya sangat ingin bersekutu dengan Portugis.
Kegagalan kristenisasi penguasa Sulawesi-Selatan ini, tidak disebutkan secara jelas. Hanya.Pelras melukiskan bahwa kemungkinan missionaries itu pesimis akan merubah watak dan kepercayaan dasar penguasa di Sulawesi-Selatan itu. Misalnya, tidak mungkin menggantikan peranan Bissu dengan Pendeta Katholik jika mereka memilih menetap sebagai pemimpin agama. Alasan teknis, karena kurangnya tersedia pendeta di Malaka . Tahun l584 pernah dikirim empat pendeta ke Makassar , tetapi tidak bertahan lama. Kemungkinan lain, agama Katholik terdesak dengan masuknya agama Islam di Sulawesi-Selatan melalui ulama dari Melayu. Agama ini kemudian dianut dengan fanatik oleh penguasa di Gowa dan sekaligus sebagai kerajaan yang sangat kuat sebelum ditaklukkan Belanda melalui pembatasan dalam Perjanjian Bongaya 1667. Jelas bahwa penguasa-penguasa di Suppa, Alitta dan Sidenreng saat itu, bukanlah penguasa setelah kerajaan Gowa menjadi kerajaan Islam yang adidaya di Sulawesi -Selatan. Karena setelah itu, penguasa-penguasa lokal di Suppa, Alitta, Sidenreng diambil dari keluarga dekat raja-raja Gowa.

2.3              Peran Kerajaan Gowa terhadap penyebaran Islam di Ajatappareng
            Abdul Makmur Khatib Tunggal, atau yang dikenal dengan Datuk ri Bandang akhirnya tiba di Kerajaan Gowa dengan perahu yang sangat tidak lazim menurut penduduk setempat. Kedatangannya dengan perilakunya yang sangat tidak biasa menurut penduduk setempat tersebut menarik perhatian. Kejadian tersebutpun kemudian dilaporkan kepada Raja Tallo, I Malingkaang Daeng Nyonri. Mendengar laporan tersebut, Raja Tallopun segera menemui Datuk ri Bandang dan menanyakan perihal apa yang disembahnya. Jawaban yang diberikan Datuk ri Bandang adalah bahwa Tuhan yang disembahnya adalah Tuhan yang sama dengan yang disembah Raja Tallo. Penampilan dan tutur kata Datuk Ri Bandang mampu menarik simpati Raja Tallo sehingga Raja Tallo memeluk agama Islam dengan sukarela pada tanggal 22 September 1605 M/9 Jumadil Awal 1014 H. Raja Tallopun, yang mendapatkan nama Muslimnya sebagai Sultan Abdullah Awwalul Islam, akhirnya meminta Datuk ri Bandang untuk menetap di Tallo sembari mengajarkan ajaran agama Islam kepada rakyatnya.
            Beberapa saat kemudian, raja Gowa XIV, I Mangarangi Daeng Manra’biya memeluk Islam dengan nama muslimnya, Sultan Alaudin. Masuknya Islam di kerajaan kembar Gowa-Tallo menjadikan kerajaan tersebut sebagai pusat Islam di Sulawesi Selatan. Gerakan Islamisasi ini berlangsung dari tahun 1603 hingga 1612 M, hingga Islam menjadi agama resmi negara.
            Inilah yang  menjadi awal sejarah masuknya Islam ke Ajatappareng, dimana SultanAlaudin, raja Gowa sangat aktif dalam menyebarkan agama Islam yang diwalinya dengan mendeklarasikan agama Islam sebagai agama resmi kerajaan yang ditandai dengan shalat jumat pertama. Berhasilnya Islamisasi di kerajaan Gowa ini, menjadikan Raja Gowa mantap untuk kemudian mengirim utusan-utusannya ke sejumlah kerajaan tentangga untuk menyebarkan ajaran Islam, yakni dengan mengajak mereka untuk menerima agama Islam dan menjadikannya agama resmi kerajaan.
Perang Ajatappareng
            Berbeda dengan kesulitan proses Islamisasi di Tellung Poccoe, kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo, Islamisasi di kerajaan-kerajaan yang berada di Ajatappareng tidaklah begitu sulit, sehingga perang tidak diperlukan (Musu’ Assellengeng) sebagaimana yang dilancarkan di daerah Tellu Poccoe. Sebelum melancarkan Musu’ Asallangeng, Sultan Alaudin terlebih dahulu menduduki kerajaan Sawitto di Pinrang. Setelah berhasil menduduki Sawitto, pasukan Gowa akhirnya dengan mudah menduduki kerajaan Suppa dan mengislamkan kembali Raja Suppa yang pada saat itu beragama Nasrani (Kristen). Sementara itu, Ekspansi pasukan Gowa semakin meluas hingga menguasai Sidenreng.
            Penolakan dilakukan oleh kerajaan-kerajaan yang kuat akan ajaran Islam ini, mengingat adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Raja Gowa terhadap kemerdekaan selama 10 tahun yang membuat mereka menganggap bahwa penerimaan terhadap ajakan kerajaan Gowa ini dapat menjadikan dominasiGowa terhadap kerajaan mereka dan tentu saja akan menjadikan mereka di bawah kekuasaan raja Gowa lagi. Karena penolakan ini membuat raja Gowa berang, raja Gowa akhirnnya memerangi mereka dengan empat kali mengirim tentaranya ke Tanah Bugis.
            Serangan pertama dilancarkan pada tahun 1608 M, tetapi mereka gagal menghadapi pasukan-pasukan pertahanan kerajaan-kerajaan Bugis yang bergabung. Tetapi pada serangan berikutnya, kerajaan-kerajan tersebut dapat ditaklukkan.  Kerajaan-kerajaan bugis tersebut dikalahkan dan diIslamkan satu demi satu. Sidenreng dan Soppeng pada tahun 1609, Wajo pada tahun 1610 dan  terakhir, Bone pada tahun 1611.[4]
            Peperangan ini, Musu’ Selleng, menurut Noordyun, telah menjadikan seluruh Sulawesi Selatan, termasuk Tana Toraja diIslamkan secara resmi. Menjadilah Makasssar pusat Islam, dimana orang-orang yang hendak mempelajari Islam berdatangan ke Makassar.
            Perkembangan Islam di Bone selanjutnya semakin semakin pesat. Di bawah kepemimpinan raja Bone ke XIII, La Maddaremmang Matinroe Ri Bukaka (1631-1640), ajaran-ajaran murni Islam dijalankan dengan konsekuen bahkan ke kerajaan tetangga, termasuk yang di Ajatappareng, seperti Kerajaan Sawitto, Sidenreng dan lainnya.
            Ditetapkannya aturan penghapusan ata (Hamba sahaya) dan aturan-aturan lainnya dengan cara yang keras menimbulkan protes bagi segenap bangsawan Bone, termasuk ibundanya sendiri. Kerajaan-kerajaan seperti Sidenreng, Soppeng dan lainnya menganggap raja Bone sangat ekstrim dalam menjalankan syariat Islam, sehinggga mereka tidak mematuhinya secara diam-diam dan melaporkannya kepada raja Gowa pada saat itu, Sultan Malikussaid.







BAB III
PENUTUP
3.1               Kesimpulan
            Islam yang dibawa oleh Datuk Tellue, tiga Mubaligh besar dari Minangkabau, Sumatera Barat, akhirnya berhasil disebarkan di Ajatappareng dengan jalan damai dan perang. Watak keras suku bugis menjadikan pasukan Gowa, yang pada saat itu telah mendeklarasikan Islam sebagai agama resmi kerajaan, cukup kesulitan dalam melakukan Islamisasi di Tellu Poccoe, Bone, Soppeng, dan Wajo.
            Dengan serangan kedua, Soppeng dan Wajo akhirnya berhasil diduduki. Proses Islamisasipun berjalan dengan baik. Dengan penyerahan kedua kerajaan yang merupakan anggota persyerikatan Tellu Poccoe, akhirnya Bone dapat ditaklukkan. Dengan menduduki kerajaan Sawitto dan beberapa kerajaan lainnya, kerajaan Suppa dapat dengan mudah diduduki.



REFERENSI

Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan. 2015. Kerajaan Kecil di             Kabupaten Enrekang di Perintah oleh Raja Paluang digelar Puang       Leoran. http://blogger.com/  diakses 19 Mei.

Mahmud, M. Irfan. 2012. Datuk ri Tiro Penyiar Islam di Bulukumba. Yogyakarta:             Ombak.

Mattulada. 2011. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah.      Yogyakarta: Ombak

Momo Lagenggong. 2015. Dakwah Islami Mho mo of Create. Tanah Duri http://dhudimine.blogspot.co.id/, diakses 19 Mei
Sandi Alfath. 2013. Sejarah Dinasti Addatuang Sidenreng Rappang –         Ajatappareng. My Buku Kuning. http://blogger.com/ diakses 19 Mei.
Widyaningsih. 2011. Ajatappareng, Sejarah Lokal Sulawesi Selatan. Widya            Ningsih. http://blogger.com/, diakses 19 Mei.
Wikipedia. Kota Parepare. http://wikipedia.com/





[1] M. Irfan Mahmud. Datuk Ri Tiro. Penyiar Islam di Bulukumba. 2012. Yogyakarta: Ombak. h.47
[2] Widyaningsih. Sejarah Lokal Sulawesi Selatan. 2011.www.
[3] Wikipedia
[4] Matuladda, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah.2011 (Yoykarta, ombak, h. 48)

Komentar

  1. Ajatappareng merupakan sebutan terhadap kerajaan2 yg terletak di sebelah barat danau (tappareng karajae). Di sana ada lima kerajaan yg membentuk persekutuan yang dikenal dengan Limae Ajatppareng yaitu: Sidenreng, Sawitto, Suppa, Rappeng dan Alitta. Sehubungan dengan islamisasi pada kelima kerajaan tersebut, tidaklah berlangsung secara bersamaan. Lontarak Alitta h. 13(LA)memberikan ket bahwa Arung Alitta ke3 La Massora menerima Islam bersamaan dg raja Gowa yg mula Islam, dan menurut Lontarak Bilang Gowa-Tallo (LBGT) bahwa raja Gowa mask Islam pd tahun 1603. Jd Alitta menerima Islam pd thn 1603. Sedangkan Islam diterima di Sidenreng menurut Lontarak Sidenreng (rol 02 no 02) pada tahun 1607 oleh Addatuang Sidenreng La Patiroi pasca perang Pakkennya dan Tamapalo dan meneurut LBGT bahwa perang Pakkennya dan Tamapalo terjadi pd thn 1607, jd terjd kesesuaian antara kedua lontarak tsb. Sedangkan Lontarak Akkarungeng Sawitto (LAS) h. 3 menyatakan bahwa We Passulle Addatuang Sawitto merangkap datu Suppa menerima Islam bersamaan dg Addatuang Sidenreng La Patiroi, ini berarti peristiwanya terjd pd tahun 1607. Adapun yg mengislamkan mereka adalah Datuk ri Bandang yg berkedudukan di Sidenreng atas rekomendasi dr Sultan Alauddin utk mengislamkan Ajatappareng (LA h. 7). Dari peristiwa islamisasi tsb dpt dipahami bahwa islamisasi di Ajatappareng berlangsung dg DAMAI dg alasan (1) Arung Alitta (La Massora) menerima Islam bersamaan dg raja Gowa tanpa diserang negerinya (2) Sidenreng, Suppa dan Sawitto menerima Islam pasca perang Pakkennya /Tamapalo padahal dlm peperangan tsb menurut Lontarak Sukkuna Wajo h. 144 Gowa kalah perang dr Tellumpoccoe, ini sebuah indikasi bahwa Sidenreng, Suppa dan Sawitto benar-benar tulus menerima Islam, siapa yg hendak memaksa mereka masuk Islam padahal Gowa kalah perang?.............

    BalasHapus

Posting Komentar